Subscribe Us

ksk logo.jpg

Menulis : Untuk Kebahagiaan Sekaligus Panggilan Ideologis




 Oleh : Rajab S. Daeng Mattayang

Bayi adalah contoh paling sederhana sekaligus alamiah, bagaimana aktivitas menulis itu merupakan suatu kebutuhan sekaligus kegembiraan. 

Cobalah berikan pensil atau pulpen kepada anak bayi usia dua tahun, misalnya, maka dia akan mencoret, menggambar, menulis apa saja yang merupakan ekspresinya yang menyenangkan, bukan saja bagi sang bayi, tapi juga siapa saja yang melihat coretan tersebut : ayah, ibu, adik-kakak atau siapa saja. Ketika sang bayi asyik menulis, cobalah ambil alat tulisnya, apa yang akan terjadi? Kemungkinan besar sang bayi akan kaget, marah, lantas menangis.

Jadi sejatinya menulis merupakan suatu kebutuhan manusia yang tidak bisa dielakkan. Bahkan manusia-manusia pra-sejarah sekalipun, telah mencoba mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran-pikiran mereka, bagaimana kondisi sosial-ekonomi mereka saat itu. Walaupun belum melalui tulisan, karena memang belum ada aksara, tapi mereka mengekspresikannya melalui gambar-gambar. 


Sebagai contoh, beberapa gambar di Leang-Leang Maros, yang usianya 5000 tahun lebih. Ada gambar babi rusa, tombak, gambar telapak tangan dan sebagainya. Gambar-gambar sederhana tersebut sudah cukup banyak bercerita kepada kita, bagaimana kondisi mereka ribuan tahun silam. Dan peninggalan tersebut merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya, bukan saja bagi masyarakat Sulawesi Selatan, tapi juga menjadi kebanggaan nasional.  Bahkan menjadi objek penelitian dunia.

Pertanyaannya : apakah semua orang bisa menulis? Jawabannya, tentu semua pasti bisa. Menulis dalam pengertian di sini bersifat umum. Apakah tulisan  sederhana atau pendek saja, seperti  yang kita banyak jumpai di facebook, WA, twiter dan sebagainya. Atau tulisan dalam bentuk karangan yang sudah  masuk kategori tulisan yang sudah diakui dalam dunia kepenulisan itu sendiri seperti esai, resensi,  puisi, cerpen, novel.

Kalau jenis tulisan yang pertama, semua orang dapat melakukannya, asalkan sudah melek huruf dan punya media penulisan. Gaya dan isi tulisannya pun sangat bebas, dan tidak perlu mengikuti tatabahasa yang baku.  Sebenarnya, kebiasaan penulisan jenis ini dapat dijadikan jembatan untuk melahirkan tulisan yang lebih berbobot, dan diakui sebagai suatu karya yang memenuhi standar penulisan. Di sinilah pelajaran atau pelatihan menulis diperlukan. 

Saat ini, kita saja yang cenderung enggan belajar. Begitu banyak cara dan peluang untuk belajar menulis. Secara offline, kita dapat mengikuti workshop dan pelatihan penulisan. Secara online, kita dapat juga terlibat dalam kelas penulisan secara gratis, apakah melalui group-group Facebook, WhatsAap atau semacamnya. Dan tentu saja, banyak sekali buku tentang teknik penulisan, yang dapat dipelajari secara otodidak.

Benarlah kata Aristoteles : “Kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang-ulang. Keunggulan bukanlah perbuatan sekali jadi, melainkan sebuah kebiasaan”.  Menulis pun butuh pembiasaan. Di awal-awal, barangkali kita mesti berdarah-darah dalam merangkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, hingga menjadi sebuah tulisan atau karangan yang utuh.  Hingga akhirnya menulis menjadi suatu kebutuhan yang membahagiakan

Saya seringkali mengibaratkan menulis itu sebagai salah satu bagian dari sebuah siklus. Membaca-menyimak-berdiskusi-merenung atau tafakkur-menulis adalah suatu siklus besar dalam kehidupan kita. Kita biasanya, sadar atau tidak sadar, menjalankan aktivitas tersebut.


Kalau salah satu dari siklus tersebut tidak dilakukan, sepertinya ada yang kurang dalam diri kita. Yang paling sering kita abaikan adalah tidak menulis. Tulisan yang dimaksud disini bukan hanya tulisan berstandar, tapi juga dapat berupa diari, atau boleh juga dalam bentuk status atau komentar-komentar di Facebook, WA atau Twiter.

Di sisi inilah sebenarnya tulisan berfungsi sebagai curhat, atau pelepasan unek-unek. Karena tidak semua orang memiliki seseorang untuk dijadikan tempat curhat, maka jadilah tulisan sebagai media curhat yang tidak akan pernah bosan, jenuh apalagi minta imbalan.  Oleh banyak pakar, inilah yang disebut sebagai : menulis sebagai terapi. 


Sebagaimana dikatakan Dr.Pennebeker “menulis bebas dapat dimanfaatkan untuk menuliskan (membuang) trauma, kerendahdirian, rasa takut salah, ketidakpercayaan diri, keragu-raguan, berbagai tekanan (stress).” Ini tentu saja bukan teori belaka, karena sudah tak terbilang yang membuktikannya. Termasuk saya sendiri, bagaimana ketika SMA dan masa-masa kuliah dulu, kebiasaan menulis dalam diari, karena barangkali kala itu belum ada FB, ternyata betul-betul meredakan ketegangan dan trauma yang silih berganti datang mendera.

Ada juga yang enggan menulis karena alasan sibuk. Parahnya, alasan semacam itu kadang dilontarkan oleh para guru, dosen, atau sekelas ustad sekalipun. Padahal, idealnya, aktivitas menulis tidak bisa dilepaskan dari profesi yang disandangnya. 


Oleh Arswendo Atmowiloto, penulis buku Mengarang itu Gampang  dan buku Menulis Novel itu Gampang, mengatakan semua penulis itu pada dasarnya sibuk, karena mereka juga ada yang bekerja selain jadi penulis, mengurus istri dan anak, bahkan jurnalis sekalipun tetap sibuk mencari berita, mengedit berita. Jadi sibuk bukanlah alasan utama. 

Yang diperlukan adalah, menurut Arswendo, B3 (Butuh Banget Berprestasi) atau istilah kerennya “need for achievement” (hasrat untuk berprestasi). Jadi perlu selalu ada kemauan kuat atau ambisi untuk selalu menulis dan menulis, menghasilkan tulisan yang lebih bagus dan lebih kuat memengaruhi pembaca.

Menulis  adalah Wasiat Sang Pintu Gerbang Ilmu

Menulis bukan hanya sekadar berfungsi untuk menuangkan pikiran, sebagai terapi, untuk meraih kebahagiaan atau untuk  menyebarluaskan gagasan secara lebih utuh dan sistematis. Lebih dari itu semua, menulis merupakan anjuran keras. Sanadnya pun jelas. 

Sebagaimana dikatakan oleh Sang Gerbang Ilmu “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Dan kaum Muslim dunia pun paham siapa itu Sang Pintu Gerbang Ilmu, tak lain dan tak bukan adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadis yang sangat mashyur : “Aku adalah Kotanya Ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barangsiapa yang menghendaki ilmu maka datangilah Pintunya”.

Sampai-sampai seorang motivator kepenulisan sekaligus penggiat literasi ternama, Hernowo Hasyim, mengakui bahwa “Mustahil saya dapat membuat 35 buku di usia lewat 40 tahun, kalau saya tidak diilhami oleh kata-kata Imam Ali: Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya” (Free Writing, hal. 158).

Beruntunglah, sebelum pak Hernowo berpulang ke Rahmatullah. Bersama istri, kami sempat menimba ilmu langsung di salah satu acara beliau “Trik Penulisan & Launching Buku Flow di Era Socmed”. Walaupan hanya sesaat, tapi setidaknya ada virus positif yang ikut tertular : ghirah penulisan. Beliau betul-betul sangat produktif di akhir-akhir hayatnya dalam penulisan buku. 


Dalam empat tahun saja, pak Hernowo dapat menyelesaikan 24 buku dari total 37 buku. Hampir semua bukunya berkenaan dengan pengembangan literasi. Sebut saja beberapa bukunya  yang menjadi bestseller “Mengikat Makna: Kiat-Kiat Ampuh Melejitkan Kemauan Plus Membaca dan Menulis Buku,” dan “Quantum Writing : Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis.”

Kemahiran menulis semakin mendesak yang bukan lagi semata-mata di ranah perbukuan saja. Karena kita berada di tengah ledakan Internet dan Media Sosial, dimana hanya dengan sentuhan jari saja, tulisan atau apa yang kita sharing akan menyebar di seantero dunia maya. Apalagi Indonesia termasuk yang paling pesat perkembangannya. 


Data terbaru, Berdasarkan hasil riset  Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survei sebelumnya. Sementara pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/02/08/).

Dapat dibayangkan begitu banyak dan derasnya arus pemikiran atau ideologi yang tersebar di dunia sosial. Perang ideologi berlangsung sedemikian rupa. Penggiringan opini senantiasa terjadi. Berita hoax pun bisa jadi benar. Begitu pun sebaliknya. Satu kata, sebaris kalimat, apalagi dalam bentuk artikel bahkan like, dislike dan berbagai emoticon sekalipun tidak terlepas dari ideologi tertentu, yang pada akhirnya meramaikan dan ikut memengaruhi opini masyarakat.

Sedemikian hebatnya perang di Internet  dan Media Sosial, atau istilah kerennya Cyberwar, sampai-sampai Sayyid Ali Khamenei sudah mewanti-wanti, 2012 silam : “Kalau sekarang saya tidak menjadi pemimpin Revolusi Islam Iran, saya pasti akan memilih menjadi pemimpin Media Sosial dan Internet”.

Gambar : https://blog.sukawu.com/






Posting Komentar

1 Komentar