(Oleh : AA. Johan)
Rambutnya yang ikal dan panjang masih terus beterbangan disapu angin ketika motor vespa bututnya ngeloyor pergi membawanya meninggalkan halaman rumahnya. Dia masih dongkol. Tak habis pikir dia akan permintaan istrinya ini. Permintaan yang mungkin bagi kebanyakan orang adalah hal biasa saja. Tapi bagi dia nilainya sama dengan seminggu puasa. Hanya orang orang yang pikirannya lagi error yang akan berpikiran seperto istrinya itu. Dan istrinya itu dianggapnya mewakili wanita kebanyakan.
Suara vespa bututnya yang sangar menggelegar terus terdengar. Lingkungan gang tempatnya bernaung selama ini sudah memaklumi kebisingan itu. Sejak remaja dia dan vespanya terus menerus meneror area gang sempit itu. Sejak ayahnya dan kemudian diteruskan oleh kakak laki-lakinya, suara vespa itu sudah menjadi ciri khas gang itu. Dan dipastikan vespa itu jauh lebih tua daripada dirinya. Warga pun sudah terbiasa dengan suara mesin tua itu.
”Anjriiit.....,” teriaknya. Hampir saja moncong vespanya menggilas emak emak yang berjalan santai sambil ngerumpi. “Hei, jalannya jangan kayak pengantin, Tante,” teriaknya dongkol. Tapi Si emak-emak hanya menoleh sebentar dan kemudian meneruskan jalannya dan bahan gosipnya yang tentu saja menarik. Dia dianggap sepi. Vespanya pun terus kabur dengan bunyi nyaringnya yang tetap menggelegar.
Kalo harganya lumayan murah bisa jadi bukan masalah tapi ini harganya sudah kelewat mahal, menurut dia. Harganya sama dengan budget makan dan minum seminggu. Dia biasa makan dengan porsi seadanya dan hal itu tentu saja tidak akan memberi kepuasan kepada keluarganya. Belum lagi biaya untuk dua orang anaknya yang masih tumbuh dan butuh makanan ekstra. Dia makin pusing. Kepalanya terasa berat bagai tertekan crane apartemen yang biasa dia lihat setiap hari setiap keluar dari pintu depan rumahnya.
Istrinya memang cantik, tidak lumayan cantik tapi super cantik. Lebih cantik dari standar wanita kebanyakan. Rambut hitam ikal mayang, hidung bangir dan mata yang sayu dengan bulu mata yang lentik dan panjang. Belum lagi kulitnya yang putih dan halus, tubuh semampai dan cara berjalan yang indah dipandang. Tidak salah kalau dia begitu ngos-ngosan selama tiga tahun mengejar hanya untuk mendapatkan bidadari itu. Dan hampir semua keinginan istrinya harus dia penuhi demi memberi kebahagiaan kepada bidadarinya tersebut. Sementara dia sendiri adalah tipe laki laki kebanyakan dengan standar wajah yang sangat minim. Untunglah dia masih memiliki postur tubuh yangg kekar hasil olahan alam sebagai
Officer of Real Estate Developer alias tukang batu. Dan tentu saja beberapa keinginan istrnya jadi teramat sulit dipenuhinya.
Akhirnya sampailah dia di mal tempatnya harus beli pesanan istrinya tersebut. Masih sempat sekali menarik gas vespa ribut itu sebelum dimatikan. Eksistensinya sebagai darah muda biasanya terluapkan lewat suara motor yang menggelegar. Beberapa orang menoleh sambil mengekspresikan penolakan terhadap suara bising itu. Tapi apa boleh buat, kebanyakan mereka pada malas cari ribut, pasrah sambil memendam kedongkolan.
Dia berusaha serapi mungkin untuk bisa pede hadir di tengah kerumunan manusia di sana. Mal baginya adalah wahana untuk menyeruakkan egoisme dan hedonis. Mal adalah sarana bagi manusia hedonis itu untuk menunjukkan eksistensi dan strata sosialnya. Bila mereka bisa menunjukkan kelebihan dari yang lain, dan itu betul betul diperjuangkan, maka merasa menanglah mereka dan bila mereka merasa kalah, mereka akan kembali mematut diri dan berusaha kembali dengan eksistensi yang lebih hedonis lagi. Dan begitu seterusnya. Kehadiran dia di mal itu tanpa sadar telah menjadi bagian dari kompetisi itu.
Beberapa langkah lagi sampailah dia di depan etalase barang pesanan istrinya. Dia masih bingung dengan gambar yang dikirim oleh istrinya di kamera hapenya. Segala macam model perkakas aksi wanita dia tak paham sama sekali. Dan memang hanyak wanita yang bisa memahami dunia mereka sendiri. Diapun memperlihatkan gambar tersebut kepada si penjaga toko, sebut saja namanya Mawar. Si Mawar menatap sejenak kamera hape yang dia perlihatkan dan kemudian melangkah menuju jajaran tas di dalam etalase.
Tak lama kemudian si Mawar datang mendekat dan memperlihatkan model tas tesebut. Dia pun bertanya, “Berapa harganya mbak ?” Si Mawar memperlihatkan barcode harga dan dia pun melihat, melolot dan......pingsan.
0 Komentar