Subscribe Us

ksk logo.jpg

Tadabbur Al-Qur'an; Tadabbur Surah Al-Ashr

Oleh : Ustadz Syamsunar Nurdin

بسم الله الرحمن الرحیم
والعصر

Demi waktu.

Boleh jadi yang dimaksudkan khusus waktu kedatangan Rasulullah SAW. Karena waktu dan masa tersebut adalah masa terangnya kebenaran dalam mengalahkan gelapnya kebatilan, masa menyebarnya tauhid dan keadilan serta surutnya syirik jahiliah dan kezaliman.

Penjelasan diatas sesuai dengan dua ayat berikutnya; karena kandungan dua ayat sesudahnya berbicara tentang kerugian yang meliputi seluruh manusia dan hanya sebagian dari mereka yang tidak terliputi kerugian tersebut. Yaitu mereka yang mengikuti kebenaran serta sabar di jalannya. Mereka ini adalah orang-orang yang beriman pada hari akhirat serta beramal saleh. 

Sebagian berpendapat Ashr adalah sholat Ashar, yaitu sholat wustha yang mempunyai fadhilah dan keutamaan melebihi sholat-sholat harian lainnya. 

Akan tetapi sebagian lagi lainnya berpandangan bahwa yang dimaksud Ashr adalah waktu ashr, yaitu akhir dari hari. Sebab waktu ini menunjukkan tentang pengaturan Ilahi yang membawa siang pada akhirnya dan mendatangkan malam serta menyalibkan kekuatan sultan hari, yakni matahari. 

Dalam riwayat terdapat penjelasan bahwa yang dimaksudkan Ashr adalah zaman zuhurnya (kemunculan) Imam Mahdi Alaihissalam yang mana pada zaman tersebut kebenaran mengatasi kebatilan dengan sempurna. 

Yang jelas, manusia sebagai maujud alam natural dan materi, disamping memiliki dimensi batin dan non-materi senantiasa mengalami pergerakan bersama zaman, baik dalam bentuk individualnya maupun dalam bentuk sosialnya. 

Rasulullah SAW dalam alam natural memiliki kenyataan individu yang merupakan paling sempurnanya wujud individu, dan karena beliau berada pada suatu zaman tertentu maka kesempurnaan diri individunya tersebut menjadi cahaya paling sempurna hidayah Ilahi mulai dari kemunculannya hingga zaman selanjutnya. Pergerakan ini mengarah pada terwujudnya suatu tatanan paling sempurna pada akhir pergerakan zaman, yaitu zaman kebangkitan manusia paling sempurna terakhir, Imam Mahdi Alaihissalam.

انّ الانسان لفی خسر

Sungguh, manusia
berada dalam kerugian.

Kata خسر dan خسران bermakna kerugian pada pokok harta. Akan tetapi boleh juga dimaknakan kerugian selain harta dan kedudukan (Merujuk Tafsir Al-Mizan) 

Firman Tuhan:
 
فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ ۗ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia.

Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (Qs. Az-Zumar: 15) 

Kekufuran dan kefasikan adalah bentuk-bentuk kekurangan dan kerugian yang dapat mengakibatkan seluruh modal yang melekat pada setiap diri manusia sirna tanpa tersisa. 

Modal manusia adalah fitrahnya yang suci, fitrahnya kepada penciptanya, pada kebaikan, dan pada sifat-sifat kesempurnaan.

Manusia hanya punya sekali kesempatan dalam meningkatkan kesempurnaan fitrahnya. Itupun di alam tabiat bersama pergerakan dan perubahan tabiatnya, karena itu ia harus berhitung waktu dan zaman, jangan sampai zaman berlalunya lebih baik dari zaman akan datangnya, dan tertimpa kerugian demi kerugian, hingga zaman tabiatnya habis serta fitrahnya pun penuh dilumuri dengan kekufuran, kesalahan, dan kezaliman. 

Amirul Mukminin Ali as berkata:


الفرصة تمرّ مرّ السحاب فانتهزوا فرص الخیر

“Kesempatan ibarat awan dari ufuk kehidupan yang berlalu, karena itu raihlah (gunakanlah semaksimal mungkin) kesempatan-kesempatan baik yang tersedia” (Nahjul Balagah). Ya, manusia selamanya akan berada dalam kerugian jika umurnya dibiarkannya berlalu tanpa menyediakan bekal bagi kehidupan akhiratnya.

 الاّ الذین امنوا و عملوا الصالحات

"Kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh."

Dalam ayat sebelumnya diisyaratkan bahwa kerugian melingkupi diri manusia, sementara di ayat ini dijelaskan tentang adanya pengecualian dari jenis mereka. Yakni orang-orang yang memakaikan dirinya pakaian keimanan dan amal saleh. Mereka inilah yang akan aman dari kerugian. 

Pada hakikatnya, kitab suci Al-Quran telah menjelaskan bahwa kehidupan manusia adalah abadi. Tidak terputus dengan kematian. Hakikat kematian itu tidak lain adalah perpindahan dari suatu alam ke alam lain.

وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مَتَاعٌ [الرعد: 26]

“Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” QS. Ar Ra’du:26.

Manusia dicipta untuk Akhirat, bukan untuk dunia.

قال امیرالمومنین علی علیه السلام

اِنَّکُم اِنَّما خُلِقتُم لِلآخِره لا لِلدُّنیا وَ لِلبَقاءِ لا لِلفَناءِ. غررالحکم، ۱۳۲

Amirul Mukminin Ali as berkata: Sesungguhnya kamu dicipta untuk akhirat bukan untuk dunia dan dicipta untuk kekal abadi bukan untuk musnah dan fana (Ghurarul Hikam/132)

قال امام صادق عليه‌السلام
خُلِقنا لِلبَقاء. بحار، ج ۵ ص ۲۱۳.

Imam Shadiq as berkata: (Sesungguhnya) Kita dicipta untuk kekal abadi (Biharul Anwar: 5/213).

Dunia hanyalah tempat berlalu dan tempat menyiapkan bekal untuk akhirat, karena itu betapa keliru manusia yang mengejar dunia dengan cara apapun serta melupakan memperbanyak bekal untuk akhirat.

Perjalanan yang telah dilewati dalam kehidupan dunia ini tidak dapat dikembalikan lagi, karena itu menunda kebaikan dan amal saleh bagi bekal akhirat adalah suatu bentuk kerugian yang tak tergantikan.

Setiap orang akan merugi degan berlalunya waktu dan masa yang diperuntukkan baginya. Seruan hidayah umum Tuhan senantiasa menghentak fitrahnya pada keimanan tauhid dan akhlak karimah.

Esensi iman berbeda dengan esensi ilmu, meskipun keduanya adalah dimensi batin manusia. Betapa tidak, sangat banyak manusia yang secara pengetahuan telah sampai pada kebenaran tauhid tapi hatinya tertutup untuk mengimaninya, karena itu iman bukanlah perbuatan akal, tapi ia adalah perbuatan qalbu, meskipun tentunya iman benar tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan dan makrifat yang benar pula.
Tuhan mengecualikan kerugian pada manusia dengan dasar:

Pertama, memiliki keimanan yang benar terhadapNya. Keimanan kepada Tuhan akan melazimkan keimanan kepada NabiNya pembawa risalah dan undang-undang aturan kehidupan. Pada gilirannya keimanan ini juga berimplikasi keimanan kepada hari akhirat. Inilah  dasar keimanan yang harus dimiliki oleh setiap orang untuk terlepas dari kerugian.

Kedua, keimanan ini mesti diikuti dengan amal saleh. Yakni ibadah kepada Tuhan dan perbuatan baik kepada makhlukNya.

Dengan dua aspek inilah manusia bisa mengambil manfaat dari pergerakan waktu tabiatnya dengan melakukan peningkatan ketaqwaan, akhlak mulia, spiritual, dan maknawiah, sehingga di akhir perjalanan waktunya memiliki bekal yang memadai dalam kehidupan akhiratnya. 

Oleh karena itu, manusia dapat terhindar dari kerugian dan menggapai keberuntungan dan kebahagiaan ukhrawi dengan jalan keimanan dan amal saleh. 

وتواصوا بالحقّ وتواصوا بالصبر

"Serta saling menasehati untuk hak dan kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran."

Tawashi dari segi lughah berada pada bab tafa’ul, yakni kerja dan perbuatan tidak hanya dari satu arah dan satu orang, tapi dari dua arah dan minimal dua orang. Sebagaimana kita ketahui manusia adalah makhluk sosial yang tidak terlepas dari interaksi satu dan lainnya, dan dengan jalan demikian mereka memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Salah satu kebutuhan esensial dan fundamental manusia adalah kebutuhan dalam bentuk maknawiah dan spiritual, sebagaimana wujudnya yang juga memiliki dimensi batin dan non-materi.

التواصی بالحق

Sebagian mereka menasehati sebagian kepada hak. Yakni dengan mengikuti kebenaran serta konsisten dengannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa beragama secara hak adalah mengikuti hak secara keyakinan dan amal perbuatan.

Saling menasehati dalam hak ini lebih umum dari memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah daripada kemungkaran, sebab ia mencakup segala bentuk keyakinan yang benar dan seluruh bentuk motivasi kepada amal saleh (Merujuk Tafsir Al-Mizan).

Oleh karena itu, saling menasehati kepada kebenaran adalah suatu bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap perkara batin manusia, baik itu dalam bentuk pengajaran akidah dan hukum-hukum fikih serta akhlak, demi untuk memperoleh makrifat yang benar dalam masalah tersebut, maupun dalam bentuk mauizah (nasehat dan pelajaran baik) untuk mempertahankan keyakinan dalam dada, serta dalam bentuk saling memotivasi untuk beramal saleh dan menyebarkan akhlak mulia di tengah masyarakat.

Adapun saling menasehati kepada kesabaran, dalam hal ini lebih umum dari kesabaran pada ketaatan, kesabaran dalam meninggalkan maksiat, dan kesabaran dalam menghadapi musibah.Meskipun ketiga bentuk kesabaran tersebut adalah kesabaran yang mendasari bentuk-bentuk kesabaran lainnya di jalan Hak SWT.

Tidak diragukan, kondisi jiwa kebanyakan manusia dalam menghadapi berbagai perkara dan peristiwa adalah berubah-ubah dan naik-turun intensitasnya. Pada galibnya manusia tidak konstan dalam ketaatan, menahan diri dari maksiat, menghadapi musibah besar dan kecil, semangat menuntut ilmu, mencari rezki halal, menghadapi keluarga, dan berbagai hal serta peristiwa lainnya. 

Oleh karena itu untuk memelihara kondisi stabil keimanan, kebaikan, dan maknawiah yang didapatkan dari saling menasehati kepada kebenaran, diperlukan juga kondisi kehidupan bermasyarakat yang terbangun didalamnya semangat saling menasehati kepada kesabaran. Sebab, dengan jalan inilah setiap diri kita bisa senantiasa bertahan di jalan ketaatan dan pengabdian kepada agama Tuhan.

Penutup: Hidup dalam perjalanan waktu 

Di alam tabiat, modal dasar dalam mendapatkan kebaikan dan kesempurnaan. Ini adalah suatu bentuk penyediaan bekal untuk kehidupan akhirat. Sebab hakikat kematian bukanlah kemusnahan, akan tetapi perpindahan dari alam dunia ke alam akhirat.

Syarat dasar dalam memperoleh bekal akhirat adalah keimanan, ketaqwaan, dan amal saleh yang tidak hanya terbatas individual, sebab manusia sebagai makhluk sosial hanya dengan beramal sosial bisa mendapatkan kebaikan melimpah dan banyak. 

Adapun salah satu metode dalam medan ini adalah saling menasehati kepada kebenaran dan saling menasehati kepada kesabaran.

gambar : studisyiah.com

Posting Komentar

0 Komentar