Subscribe Us

ksk logo.jpg

Ketika Partai Islam Sibuk Mencari Sekutu, Umat Sibuk Mencari Harapan



Herman Kajang, S.Pd.

Kita sudah menyelesaikan Pemilu Presiden, saatnya kita menuju Pemilihan Kepala Daerah serentak. Kita sudah menyaksikan Partai Politik di balik para kandidat Presiden, kini saatnya kita mau lihat kemana arah dukungan Partai Politik dalam Pilkada serentak yang sebentar lagi akan dihelat. Lalu kemana arah partai-partai Islam akan berlabuh? 

Mari kita gambarkan panggungnya. Kapal-kapal megah itu—yang kita sebut partai-partai Islam—berlayar dengan bendera megah dan kata-kata muluk yang berkibar di tiang-tiangnya. Mereka berpidato tentang visi besar, tentang masyarakat yang lebih adil, dan tentang jaminan kesejahteraan ummat. Namun, ketika kapal-kapal ini mengarungi lautan politik yang penuh gelombang, tampaknya arah tujuan mereka semakin kabur. 

Di pelabuhan, umat yang dahulu menaruh harapan pada kapal-kapal ini kini berjongkok di dermaga, menunggu dengan penuh harap dan mungkin sedikit keputusasaan. Mereka menyaksikan bagaimana kapal-kapal ini berlalu tanpa henti, berputar-putar tanpa tujuan yang jelas, sementara mereka sendiri terdampar di dermaga tanpa arah. “Kemana arah kapal ini berlabuh?” tanya mereka dengan penuh rasa ingin tahu, sementara kapal-kapal itu terus menghindar dari pantai yang mereka idam-idamkan. 

Di panggung politik, tampaknya partai-partai Islam kini lebih bersemangat mencari sekutu daripada mencari cara untuk memperbaiki nasib umat. Seolah-olah mencari kawan koalisi adalah misi utama mereka, dan umat hanya menjadi penonton setia dari pertunjukan politik ini. Doa mereka di bibir, namun punya ambisi di hati.

Bayangkanlah, sekelompok politisi yang terampil dalam seni berkoalisi, berselingkuh di belakang layar, dan bernegoisasi seakan-akan mereka sedang menyusun resep rahasia untuk kebahagiaan umat. Mereka berkumpul, saling bertukar proposal, dan mungkin bahkan berdebat tentang siapa yang paling layak menjadi "tamu kehormatan" di pesta politik mereka. Di sisi lain, umat, yang mestinya menjadi sasaran perhatian, justru terpaksa bermain detektif, mencari-cari di mana letak harapan yang pernah dijanjikan.

Mungkin, partai-partai ini berpikir bahwa harapan umat adalah barang dagangan yang bisa ditawar-tawar seperti harga sayur di pasar tradisional. Mereka bisa saja berpendapat, “Jika umat tidak puas, kita tinggal buatkan mereka lebih banyak janji,” atau mungkin, “Mari kita tambah dosis retorika dan kurangi dosis realisasi.”

Sementara itu, para elit politik ini tampaknya lebih tertarik untuk memoles citra mereka di media daripada memikirkan nasib rakyat. Mereka tampaknya percaya bahwa berfoto dengan anak yatim dan menyumbang ke panti asuhan cukup untuk menutupi ketidakpedulian mereka terhadap masalah yang lebih mendalam. Di satu sisi, mereka membangun koalisi untuk meraih kursi, sementara di sisi lain, umat yang berharap penuh pada mereka dibiarkan berdoa dengan telaten, menunggu mukjizat yang tak kunjung datang.

Selama mereka sibuk dengan transaksi politik, umat harus bertahan dengan harapan yang dipangkas, seperti tanaman di tengah musim kemarau. Ada perasaan, semakin banyak sekutu yang dijalin, semakin jarang ditemukan tindakan nyata. Seolah-olah, bagi partai-partai ini, membangun pemerintahan adalah soal angka dan strategi, bukan soal keadilan atau kemanusiaan.

Mungkin, jika umat beruntung, mereka akan menemukan harapan yang tersisa di bawah tumpukan dokumen koalisi atau di sela-sela janji politik yang terabaikan. Namun, satu hal yang pasti, selama partai-partai ini lebih fokus pada perjanjian politik ketimbang pada penderitaan rakyat, umat akan terus berkelana dalam labirin ketidakpastian, mencari harapan di tempat yang semakin sulit ditemukan.

Sehingga, di tengah hiruk-pikuk politik, satu pertanyaan tetap bergema: Apakah partai-partai ini sadar bahwa harapan umat tidak bisa dibeli atau ditukar dengan kursi kekuasaan? Atau mungkin, bagi mereka, itu hanya bagian dari permainan yang tidak ada habisnya?

Makassar, 22 Agustus 2024

gambar : https://www.nu.or.id/risalah-redaksi

Posting Komentar

0 Komentar