Subscribe Us

ksk logo.jpg

Memproduksi Cuan dari Eceng Gondok Danau Unhas



Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.

Eceng gondok adalah tanaman air yang selama ini dianggap gulma.  Awalnya tanaman ini adalah tanaman hias yang dibawa oleh none-none belanda ke Indonesia, tepatnya ke Kebun Raya Bogor sebagai tanaman hias ke Indoensia.  

Bunganya yang berwarna ungu sangat memikat untuk dijadikan sebagai tanaman hias sebagaimana tanaman teratai.  Akan tetapi karena pertumbuhannya sangat cepat eceng gondok ahirnya dianggap sebagai gulma di habitat air tawar. Di Danau Toba, dalam waktu 52 hari eceng gondok mampu menutupi luasan 1 m2.  Menurut Heyne (1987) dalam bukunya “Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II” eceng gondok dapat mencapai bobot 125 ton pada area seluas 1 hektar selama 6 bulan atau sekitar 600 kg/hektar.  

Pertumbuhan dan perkembangbiakan yang pesat ini, tak ayal lagi, dianggap oleh masyarakat awam sebagai tanaman yang mengganggu.  Hal ini karena pertumbuhan dan perkembangan yang pesat ini dapat mengakibatkan dampak buruk bagi suatu perairan seperti menurunnya kandungan oksigen, meningkatkan evapotranspirasi sehingga air di suatu danau dapat cepat habis dan lain sebagainya.

Universitas Hasanuddin mempunyai perairan tawar yang seringkali disebut Danau Unhas yang ditumbuhi oleh ececng gondok.  Selama ini insan kampus masih memandang eceng gondok sebagaimana pemahaman awam tentang eceng gondok, yaitu sebagai gulma.  

Oleh karenanya, eceng gondok di kampus Unhas hanya dibersihkan secara manual dan dibuang sebagai sampah.  Padahal eceng gondok ini dapat mempunyai berbagai fungsi ekologis dan ekonomis.  Oleh itu, perlu memperluas kesadaran kita untuk dapat memanfaatkan keberadaan eceng gondok secara maksimal.

Fungsi ekologis dan ekonomis eceng gondok

Beragam fungsi ecologis eceng seperti sebagai tempat berteduh, mencari makan dan perlindungan bagi benih ikan-ikan air tawar.  Eceng gondok juga memunyai kemampuan yang handal dalam menyerap bahan organik serta bahan bahan pencemar logam seperti Cd (Kadmium), Cr (kromium), Hg (Merkuri), Ni dan logam-ligam yang lainnya.  Dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam Cd, Hg, Ni,masing-masing 1,35, 1,77, dan 1,16 (Widyanto dan Susilo,1977).  Lubis dan Sofyan (1986) menunjukkan bahwa eceng gondok dapat mengabsorbsi logam Cr secara maksimal 51,85 % dengan pH 7 per hari.

Danau Unhas pada awalnya menjadi salah satu tempat pembuangan limbah aktivitas antrogenik di dalam dan sekitar kampus.  Oleh karenanya, banyak bahan pencemar yang terakumulasi di dalamnya, baik pada kolom air, sedimen dan biota yang ada di dalamnya.  Sebagai contoh dari hasil penelitian mahasiswa program studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Jurusan Perikanan, FIKP, Unhas, tahun 2009, danau Unhas telah tercemar oleh logam timbel (Pb), kadmium (cd) dan kuprum (Cd).  Kemudian pada tahun 2016 dilakukan lagi pemantauan logam di Danau Unhas dan kondisinya hampir tidak berbeda dengan penelitian periode sebelumnya. 

Untuk menfungsikan danau Unhas secara maksimal misalnya sebagai tempat ekowiasata atau akuakultur, maka bahan pencemar yang ada di kolom air, sedimen dan biotanya, sangat perlu dilakukan bioremediasi secara alami.  Bioremediasi ini dapat memanfaatkan kemampuan absorbsi eceng gondok sebagaimana dijelaskan oleh hasil-hasil penelitian di atas. 

Eceng gondok dapat menyerap bahan pencemar dalam kondisi hidup atau dijadikan tepung.  Tepung eceng gondok dapat menyerap lebih kuat dibadingkan ketika masih hidup.  Terhadap bahan timbel, eceng gondok dalam bentuktepung telah diteliti mampu menyerap sekitar 90 % logam timbel selama satu jam.

Persoalannya adalah setelah bahan pencemar diserap oleh eceng gondok, akan dikemanakan tanaman eceng gondok yang tercemar? Bahan pencemar seperti logam akan terikat dengan kuat dalam tubuh eceng gondok.  Logam tidak mudah luruh ke lingkungan sekitar.  Dengan pengetahuan tersebut kita bisa memanfaatkan eceng gondok sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan.  Di samping itu eceng gondok juga dapat digunakan sebagai sumber gas dengan memasukkan eceng gondok dalam reaktor biogas.  Eceng gondok juga dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan kertas. 

Jika kita ambil logam Cr sebagi contoh, maka eceng gondok yang ada di danau Unhas dapat mengurangi 50 % logam Cr setiap hari. Kemudian jika kita menggunakan perangkat lunak measure map yang bisa kita dowload dari play store untuk menghitung luas danau Unhas, kita akan mendapatkan bahwa Danau Unhas memunyai luas 4,4 ha.  

Bila kita mengitung laju pertumbuhan dan perkembangbiakan eceng gondok yang disebutkan oleh Heyne (1987) di atas, maka dalam waktu enam bulan di Danau Unhas kita dapat memanen 2,6 ton eceng gondok.  Hasil panenan ini tentunya dapat ditransformasi dalam berbagai barang ekonomi sebagaimana disebutkan di atas seperti, bahan kerajinan khas Unhas misalnya, bahan baku kertas, biogas dan bahan biosorben untuk menyerap bahan pencemar.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eceng gondok di danau Unhas tidak perlu dimusuhi dengan menganggapnya sebagai gulma dan sampah, bahkan sebaliknya eceng gondok harus dijadikan “mitra” untuk membersihkan danau Unhas dari bahan pencemar.  Dengan cara itu fungsi danau Unhas dapat dioptimalkan salah satunya sebagai tempat budidaya ikan air tawar dan laboratorium alam terutama bagi Jurusan Perikanan dan jurusan-jurusan yang lain di Unhas.  

Pemanfaatan secara tepat dan maksimal terhadap eceng gondok akan dapat menambah pundi-pundi Unhas yang sudah ber-PTN-BH. Untuk itu rektor Unhas perlu menseriusi pengelolaan danau Unhas terutama yang berkaitan dengan eceng gondok untuk dapat memberikan manfaat yang maksimal dari sumberdaya alam atau aset yang dimiliki.  

Biasanya pemanfaatan sumber daya hayati terkendala oleh paradigma para pemangku kepentingan.  Mereka sebagian besar masih digelayuti dengan pikiran antroposentrik.  Paradigma antroposentrik memandang manusia sebagai pusat, sehingga sumber daya hayati seperti eceng gondok dipandangnya sebagai sesuatu tanpa nilai sejauh ia sudah memberikan manfaat kepada manusia.  

Pandangan antroposentrik seperti itu harus ditransformasi secara transpersonal seperti disarankan oleh filosof lingkungan Warwick Fox hingga menuju ke konsep ekologi transenden.  Dalam paradigma ekologi transenden eceng gondok bukan sekadar kawan seiring yang dapat mempoduksi cuan, tetapi ia juga menjadi sahabat dalam menapaki perjalanan spiritual.

gambar : https://www.greeners.co/

Posting Komentar

0 Komentar