Subscribe Us

ksk logo.jpg

Harmoni dalam Iman “Cinta di Bawah Menara Istiqlal”


Herman Kajang

Hari yang cerah, 5 September 2024 menjadi saksi sebuah momen bersejarah. Di bawah menara Masjid Istiqlal Jakarta, terjadi sebuah pertemuan yang tampaknya lebih cocok untuk layar lebar ketimbang berita malam. Paus Fransiskus dan Imam Besar Nasaruddin Umar melangsungkan sebuah drama romantis lintas iman yang tak terduga, lengkap dengan ciuman dahi dan cium tangan. Ini adalah drama tingkat tinggi, lengkap dengan gestur cinta lintas iman yang menghangatkan hati.

Saat keduanya bertemu, tak ada perdebatan panjang tentang ayat atau ajaran agama. Tidak, mereka memilih cara yang lebih lembut. Nasaruddin Umar, tanpa banyak kata, mengecup dahi Paus Fransiskus dua kali. Bukan hanya sebuah salam formal, tapi mungkin pesan rahasia yang hanya bisa diterjemahkan sebagai “persaudaraan sejati tak butuh banyak kata.” Paus, tentu tak ingin kalah dalam hal kasih sayang. Dengan penuh penghormatan, ia membalasnya dengan mencium tangan Nasaruddin, bukan sekali, tapi berkali-kali. Seolah ingin menegaskan bahwa dalam soal kasih sayang, tidak ada yang lebih unggul—Masjid maupun Gereja.

Para hadirin yang menyaksikan momen ini hanya bisa terdiam, mencoba mencerna apakah ini adalah tanda era baru dalam hubungan lintas agama. Tapi, tak ada waktu untuk terlalu menganalisis. Kedua pemimpin spiritual itu juga tanpak berjalan berdampingan menuju Terowongan Silaturahmi, yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Paus tersenyum, memandang terowongan itu dengan kagum. Ia seakan berbisik, “Ini bukan hanya terowongan. Ini jembatan hati antara iman-iman kita.” Nasaruddin hanya mengangguk, tampak puas karena idenya yang simbolis kini diakui oleh Paus sendiri.

Namun, adegan paling dramatis belum berakhir. Setelah tur keliling Istiqlal, tiba saatnya untuk acara puncak: Deklarasi Istiqlal. Paus Fransiskus dan Nasaruddin Umar menandatangani dokumen itu di hadapan tokoh lintas iman, yang menyatakan komitmen bersama untuk menjaga perdamaian dan toleransi. Deklarasi ini, bagi sebagian orang, mungkin hanyalah selembar kertas, tapi bagi kedua tokoh ini, ini adalah bukti nyata bahwa cinta dan keharmonisan bisa ditulis, dibingkai, dan diabadikan.

Setelah momen penandatanganan, suasana semakin hangat. Paus Fransiskus diberikan dua cenderamata, termasuk replika Masjid Istiqlal yang menawan. Semua tampak normal, sampai Paus mengeluarkan sebuah kantong merah kecil dari dalam jubahnya dan menyerahkannya kepada Wakil Menteri Agama, Saiful Rahmat Dasuki. Hadirin mulai berbisik-bisik. Apa isi kantong merah itu? Donasi rahasia Vatikan? Pesan tertulis dari Santo Petrus? Atau mungkin hanya permen, sebagai tanda bahwa pertemuan ini manis adanya?

Momen itu seakan menjadi titik klimaks, di mana para pemimpin bangsa yang hadir seperti Jusuf Kalla, Sinta Nuriyah, dan para menteri lainnya hanya bisa tersenyum penuh makna. Ini bukan hanya pertemuan biasa, ini adalah perayaan cinta lintas agama di bawah menara megah yang membingkai Masjid Istiqlal. Namun, ada satu hal yang tampaknya terlewatkan dari moment pertemuan ini: Gaza.

"Gaza? Bukankah di sana butuh cinta dan perdamaian? Deklarasi yang ditandatangani pada pertemuan itu penuh dengan frasa-frasa agung tentang perdamaian global, toleransi, dan pentingnya berbagi cinta. Tapi mengapa Palestina terlalu jauh dari cinta mereka?

Tidak ada sepatah kata pun tentang Gaza, seolah masalah di sana hanyalah butiran debu kecil di tengah keagungan mimbar perdamaian ini. Tentu, berbicara tentang cinta universal jauh lebih mudah tanpa menyinggung pelanggaran hak asasi manusia yang nyata. Mungkin itu yang ada di benak mereka. Ataukah mungkin yang hadir dalam pertemuan ini akan merusak selera makan mereka jika berbicara soal ketidakadilan dan blokade yang mencekik?

Rakyat Gaza, yang masih menahan lapar dan derita, tak ikut dilibatkan dalam momen ini. Mungkin juga karena suara mereka tidak cukup halus untuk harmonisasi lintas iman ini. Atau mungkin, keadilan itu terlalu 'politis' untuk sebuah acara yang mengedepankan "kedamaian."

Setelah foto bersama, Paus Fransiskus segera melanjutkan kunjungannya ke Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan bersiap untuk misa akbar di Stadion Gelora Bung Karno. Misa yang diprediksi dihadiri ribuan umat Katolik, yang mungkin saja, saat menengadahkan tangan mereka ke langit, di sinilah derita Gaza ikut dalam munajat mereka.

Moment cinta di bawah menara selesai. Namun, pertanyaan tetap bergantung di langit: Apakah ciuman dahi dan tangan tadi hanya simbol sementara? Atau ini adalah awal dari babak baru, di mana cinta lintas iman menjadi agenda utama, mengalahkan politik, kekuasaan, bahkan doktrin yang telah lama merenggangkan umat manusia?

Jawabannya mungkin masih samar. Tapi satu hal pasti -- di bawah menara Istiqlal, cinta lintas iman telah menemukan panggung terbaiknya, meski saat itu Gaza jauh dari cinta mereka.

Makassar, 5 September 2024

gambar : https://www.liputan6.com/

Posting Komentar

0 Komentar