Prof.Dr.Khusnul Yaqin, MSc.
Dalam sebuah riwayat yang sering disalahpahami oleh kaum oportunis spiritual dan kaum borjuis religius, Rasulullah Muhammad SAW memanjatkan doa yang mengguncang struktur sosial dunia:
اللهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا، وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا، وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ
"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin." (HR. Tirmidzi)
Di mata dunia modern yang menuhankan kapital, doa ini tampak seperti ironi. Namun dalam paradigma Islam revolusioner doa ini adalah deklarasi keberpihakan. Bukan pada kemiskinan sebagai penderitaan, tetapi pada kelas yang ditindas. Sebuah afirmasi spiritual atas posisi moral kaum tertindas (mustadh’afin) melawan struktur penghisapan yang disahkan oleh para pemilik kuasa.
Rasul bukan memuliakan kemiskinan yang membuat orang menyerah, tapi memuliakan kesederhanaan yang membebaskan dari perbudakan harta. Doa itu adalah kritik terhadap kelas penguasa yang memonopoli harta dan menjadikan sedekah sebagai panggung pencitraan.
Mari kita buka lembaran sejarah rumah tangga Fatimah Az-Zahra, putri Nabi. Diabadikan dalam Al-Qur’an, kisah ini adalah puncak keikhlasan dan revolusi spiritual:
وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينٗا وَيَتِيمٗا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا ﴿٩﴾
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian karena mengharap wajah Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih."
(QS. Al-Insan: 8-9)
Fatimah, Ali, Hasan, dan Husain, yang selama tiga hari tidak makan, karena tidak ada makanan. Ali datang ke rumah membawa roti, namun tiba-tiba datang orang meminta makanan, mereka (Ahlul Bait Nabi saw) menyerahkan satu-satunya roti mereka kepada orang-orang kelaparan—bukan karena mereka tidak membutuhkan, tetapi karena mereka memilih untuk memberi ketika membutuhkan. Inilah makna miskin yang yng maksudkan Nabi SAW dalam doanya itu. Dermawan yang tidak menunggu menjadi jutawan untuk berbagi. Sungguh posisi itu sangat sulit, tapi di sisi itulah Ahlul Bait saw mengajarkan prilaku dermawan mutlak: dermawan dalam kondisi sangat miskin.
Ironisnya, banyak “kaya baru” hari ini—yang sukses menjilat kursi penguasa—memandang doa Nabi itu sebagai sesuatu yang melemahkan. Mereka mengutip hadis: "Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah," tapi mereka tak pernah menjadi tangan yang benar-benar memberi, kecuali demi pencitraan.
Islam revolusioner tidak mengajarkan mengemis, tetapi mengangkat yang tertindas. Bagi Ali Shariati, kemiskinan adalah luka sejarah, tapi doa Nabi adalah pisau bedah yang menunjukkan siapa pelaku kejahatannya. Maka jangan pernah rendahkan orang miskin. Barangkali mereka sedang memikul warisan para Nabi—hidup dalam kelaparan, tapi dermawan dalam diam.
0 Komentar