Prof.Dr.Khusnul Yaqin, M.Sc.
"Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta, niscaya ia menginginkan yang ketiga. Dan tidak akan memenuhi perut anak Adam kecuali tanah."
(HR. Muslim)
Sabda ini sering kita dengar, namun barangkali belum benar-benar kita dengar. Sebab yang dimaksud “perut” dalam sabda itu bukan hanya lambung, tapi ambisi; dan “tanah” bukan hanya liang kubur, tapi juga simbol akhir dari segala hasrat dunia yang menyesatkan.
Lembah pertama adalah kekuasaan.
Lembah kedua adalah harta.
Dan lembah ketiga—itulah titik nadir manusia yang kehilangan ruhnya: ketika jabatan, uang, dan pujian menjadi Tuhan baru.
Dunia modern, termasuk dunia kita hari ini, dibentuk oleh orang-orang yang lapar. Bukan lapar roti, tapi lapar pengaruh, lapar legitimasi, lapar untuk mengukir namanya di atas tubuh institusi. Namun mereka lupa: lembah-lembah itu tidak pernah cukup. Lembah ketiga itu akan terus membuka jurangnya, menelan apa pun yang dilalui.
Dan yang paling tragis: kerakusan yang tumbuh dalam satu tubuh elite akan menular ke seluruh jaringan masyarakat seperti virus. Kekuasaan yang rakus akan melahirkan birokrasi yang bebal, pembangunan yang eksploitatif, dan masyarakat yang tercerabut dari cita-cita kolektif.
Di sini kita perlu menanyakan ulang: untuk siapa bumi ini dibangun? Apakah untuk manuskrip proyek dan tender tak berujung, atau untuk makhluk-makhluk Tuhan yang butuh air jernih, udara bersih, dan ruang hidup yang bermartabat?
Kerakusan jabatan bukan sekadar krisis moral, ia adalah kejahatan ekologis. Setiap megaproyek yang lahir dari niat mempertahankan kuasa—entah dengan menyulap hutan menjadi kota industri, atau dengan mengorbankan nelayan demi kawasan ekonomi khusus—adalah bentuk nyata dari kerakusan yang dikutuk dalam sabda Nabi.
Mereka yang menukar ayat-ayat Tuhan dengan lembah-lembah investasi, lupa bahwa alam bukan milik kekuasaan, melainkan amanah ruhani. Mereka tidak sadar bahwa politik yang tercerabut dari spiritualitas hanyalah manajemen kerakusan kolektif.
Filsuf hikmah pernah mengatakan:
"Manusia adalah makhluk yang dicipta untuk naik menuju langit, tapi banyak yang memilih menggali lembah demi lembah di bumi."
Itulah paradoks zaman ini: ketika jabatan tak lagi sarana pengabdian, melainkan kendaraan eksklusif menuju lembah ketiga—dan seterusnya, menuju tanah.
Ketika politik kehilangan arah transendennya, maka institusi menjadi ladang rebutan, bukan ladang pelayanan. Ketika ekologi tidak lagi dimaknai sebagai ruang kesucian Tuhan, maka alam akan direduksi menjadi grafik pertumbuhan, bukan taman peradaban.
Di titik ini, kita menyaksikan kehancuran bukan dari ledakan, tapi dari keserakahan yang dilumrahkan, dari rapat-rapat yang diselimuti angka, dari tangan-tangan halus yang menandatangani kerusakan dengan senyum lembut.
Tatanan ekologi politik yang transenden mestinya dibangun dari jiwa yang cukup, bukan dari perut yang lapar. Ia lahir dari keikhlasan menduduki jabatan sebagai amanah, bukan peluang. Ia menjaga bumi bukan karena instruksi, tapi karena kesadaran bahwa bumi adalah manifestasi cinta Tuhan, bukan halaman belakang kekuasaan.
Namun ketika kekuasaan menjadi lembah yang terus digali, maka seluruh peradaban akan ditelan bersama mereka. Tanah yang mengubur kita bukan lagi di liang lahad, tapi dalam catatan sejarah sebagai generasi yang gagal menjaga dunia.
Kini pertanyaannya:
Akankah kita terus menggali lembah ketiga?
Atau mulai membangun tangga—untuk keluar dari lubang rakus ini, dan kembali menatap langit, di mana cahaya makna dan amanah menanti?
Mungkin jawabannya sederhana.
Ia bukan di meja-meja rapat.
Bukan di lembah.
Tapi dalam dada setiap manusia yang berani berkata: CUKUP.
gambar : https://banten.akurat.co
0 Komentar