Membalas Kebaikan Alam dengan Kebaikan Lebih Indah:
Jalan Ekologi Transenden
Prof.Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc.
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
"Tidak ada balasan bagi kebaikan kecuali kebaikan (pula)."
(QS. Ar-Rahman: 60)
Ayat ini tampak sederhana, namun menyimpan kedalaman makna spiritual dan ekologis yang luar biasa. Ia mengajarkan bahwa setiap bentuk kebaikan harus dibalas dengan kebaikan yang bahkan lebih indah. Bila prinsip ini kita bawa ke dalam relasi manusia dengan alam, maka pertanyaannya bukan hanya bagaimana kita menjaga bumi, tetapi sejauh mana kita memperindahnya.
Ayatollah Jawadi Amuli menafsirkan ayat itu dengan mengatakan bila kita membalas kebaikan dengan kebaikan, maka kita sedang berbuat adil, tetapi ayat itu menenkankan bahwa jika kita membalas kebaikan dengan perbuatan yang lebih baik, maka itulah makna ihsan.
Indonesia adalah negeri yang telah menerima ihsan ekologis secara berlimpah. Kita memiliki lebih dari 17.000 pulau, sabuk hutan hujan tropis terluas di Asia Tenggara, dan menjadi pusat keanekaragaman hayati laut dunia di jantung Coral Triangle. Di dalamnya hidup makhluk-makhluk luar biasa: orangutan Kalimantan, komodo Nusa Tenggara, burung cendrawasih Papua, dan karang Raja Ampat—semuanya adalah manifestasi nyata kemurahan Tuhan.
Namun bagaimana kita membalas kemurahan itu? Pertanyaan ini penting, akan tetapi jawabannya menjadi lebih penting.
Sayangnya, paradigma pembangunan kita masih kerap terjebak dalam kalkulasi ekonomis. Alam dilihat sebagai komoditas: seberapa banyak kayu bisa ditebang, tambang bisa dikeruk, dan lahan bisa dijadikan ladang. Dalam logika ini, upaya pelestarian sering dianggap cukup ketika kerusakan berhasil ditekan seminimal mungkin. Padahal, dalam pandangan ekologi transenden, itu hanyalah langkah awal dari keadilan ekologis—belum sampai pada tahap kebaikan sejati.
Aldo Leopold, pelopor etika lingkungan modern, pernah berkata: "A thing is right when it tends to preserve the integrity, stability, and beauty of the biotic community." Artinya, tindakan manusia hanya dapat disebut benar bila ia menjaga integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas hayati. Dalam tradisi ekologi transenden, kita melangkah lebih jauh: bukan hanya menjaga, tetapi memperindah kembali sistem kehidupan yang telah kita rusak atau abaikan.
Dalam falsafah Jawa, dikenal istilah memayu hayuning bawono—tugas manusia adalah memperindah keindahan dunia yang sudah indah. Pepatah Papua menyebutkan "Hutan adalah ibu, ibu adalah kehidupan." Sementara dalam adat Minangkabau ada ungkapan: alam takambang jadi guru—alam terbentang luas sebagai sumber pelajaran.
Falsafah-falsafah ini menunjukkan bahwa kearifan ekologis Nusantara sejatinya sangat dekat dengan prinsip ekologi transenden: alam bukan hanya ruang hidup, tetapi juga ruang batin, tempat di mana kita membangun makna, cinta, dan keindahan.
Coba kita bayangkan ulang pembangunan di Indonesia: bukan hanya mengejar net zero carbon, tetapi memulihkan padang lamun dan terumbu karang, membuka ruang bagi flora-fauna endemik, atau membangun kawasan permukiman yang bersahabat dengan air, angin, dan tanah. Rehabilitasi hutan tak sekadar monokultur industri, tetapi menjadi ruang hidup kembali bagi kearifan lokal dan komunitas adat.
Arne Næss, penggagas deep ecology, mengajukan satu pertanyaan penting: “Apakah manusia bisa hidup tanpa menempatkan dirinya sebagai pusat segalanya?” Ia mengajak kita bergeser dari ego-sentrisme menuju ekosentrisme, bahkan kosmosentrisme—di mana kita menjadi bagian dari jaring kehidupan, bukan pengaturnya.
Kini dunia sedang memasuki transisi ekologi. Namun Indonesia tidak cukup hanya menjadi pengikut. Kita punya kekayaan biodiversitas yang luar biasa, dan kearifan ekologis dari nenek moyang yang tak kalah berharga. Kita harus memimpin dengan menunjukkan bahwa pembangunan bisa menyatu dengan spiritualitas, bahwa teknologi bisa bersahabat dengan estetika alam, bahwa ekonomi bisa hidup berdampingan dengan etika.
Karena kita hidup di negeri yang diberi ihsan ekologis yang tak ternilai. Maka, jangan kita balas dengan sekadar menahan kerusakan. Balaslah dengan mencipta harmoni baru. Balaslah dengan memperindah, memuliakan, dan menumbuhkan cinta kepada bumi dan seluruh isinya. Sebab sebagaimana ayat itu mengingatkan kita: hal jazā’ul iḥsān illal iḥsān—balasan kebaikan adalah kebaikan yang sejati.
Tamalanrea Mas, 1 Maret 2025
gambar :https://id.pinterest.com
0 Komentar