Prolog
Serangan Israil di Jalur Gaza 2023 adalah satu penggalan sejarah yang paling buruk dan terbiadab, sebab hari tersebut adalah penanda yang semakin kuat bahwa eksistensi perlawanan terhadap Zionis, AS dan sekutunya akan semakin membara.
7 Oktober adalah keputusan sejarah yang akan membahana menembus ruang-ruang kesadaran manusia yang paling sublim. Tanpa 7 oktober, maka kita akan segera menyaksikan skenario jahat berikutnya yang berdampak pada semakin meluasnya kekuasaan geografis Israel pada wilayah di semananjung arab.
Hari tersebut adalah pengabar akan kebengisan, kebiadaban dan kesempurnaan makar Zionis, AS dan sekutunya yang sekaligus penanda di mulainya keretakan-keretakan kedigdayaan para makar pasukan Dajjal. Dentuman bom di Jalur Gaza yang di ikuti dengan tumapahnya darah dan kembalinya nyawa-nyawa para syuhada kepangkuan ilahi akan semakin mengokohkan perjuangan, merapikan shaf perlawanan.
Kita akan segera menyakisikan peradaban dunia akan segera berbalik ke Timur, peradaban Barat akan semakin redup karena syarat kerutuhan sudah semakin nampak di depan mata, yakni sempurnanya kajahatan yang di perankan AS-Zionis. Pembusukan peradaban akan dimulai dirumah-rumah para tiran.
anak-anak dan Wanita yang semestinya bukan menjadi objek perang justru telah merenggut ribuan nyawa dalam sekejap. Bangunan dan seluruh fasilitas mestinya menjadi ruang privasi dalam sekejab menjadi Perang memang
Seluruh resiko telah diperhitungkan pada semua sisi. Dan dari seluruh resiko tersebut seluruhnya bermuara pada Syahada yang merupakan kemenangan puncak dari sebuah perjuangan.
7 Oktober bukanlah waktu tanpa perhitungan yang matang, sebab keputusan perang 7 Oktobet adalah puncak keputusan intelejen dimana Hamas telah mempertimbangkan secara matang. Hamas hanyalah satu kelompok perlawanan telah mengambil keputusan untuk melakukan serangan ke Israil Masjil Al-Aqsa bukanlah semata-mata simbol spiritual akan tetapi Al-Aqsa adalah satu makan yang agung karena secara sosiologis perjalan spiritual baginda Nabi Muhammad
Pertanyaan ini penting dan menyentuh ranah moral, kemanusiaan, dan sejarah yang dalam. Alasan berpihak kepada Palestina bukan semata soal agama atau politik, tapi soal keadilan dan kemanusiaan. Berikut beberapa alasan utama:
Di ujung Timur Tengah, di bawah langit yang retak oleh suara rudal dan derita, Palestina menangis. Bukan hanya karena derita fisik akibat penjajahan dan penindasan Israel selama lebih dari tujuh dekade, tetapi karena dunia terlalu lama diam, terlalu banyak menoleh ke arah lain. Di tengah puing-puing rumah dan jasad yang belum sempat dimakamkan, satu pertanyaan genting muncul: mengapa kita masih ragu berpihak?
Ketika Penindasan Menjadi Sistemik
Israel bukan sekadar penjajah wilayah. Ia adalah mesin kekuasaan yang melanggengkan ketimpangan struktural terhadap warga Palestina. Di Tepi Barat, hukum dibelah menjadi dua: warga pemukim Yahudi mendapat perlindungan penuh hukum sipil Israel, sementara warga Palestina tunduk pada hukum militer. Anak Palestina bisa dipenjara di usia 12 tahun, tanpa pengacara, tanpa pengadilan adil.
Ribuan rumah Palestina dihancurkan atas nama “legalitas”—sementara pemukiman ilegal Israel terus tumbuh dengan fasilitas modern. Di Gaza, sejak 2007, lebih dari dua juta orang hidup dalam blokade penuh: listrik beberapa jam saja sehari, air minum tercemar, dan lebih dari 80% bergantung pada bantuan kemanusiaan. Gaza bukan kota. Ia adalah penjara terbuka raksasa.
Genosida dalam Sorotan Global
Serangan Israel ke Gaza pada 2023–2024 menjadi bukti nyata eskalasi genosida. Lebih dari 30.000 jiwa tewas, mayoritas anak-anak dan perempuan. Rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah menjadi target. Blokade menyeluruh atas makanan, air, dan obat-obatan menyebabkan kelaparan dan krisis medis.
Mahkamah Internasional bahkan menyatakan bahwa tindakan Israel “mungkin termasuk genosida” dan memerintahkan tindakan pencegahan segera. Tetapi dunia masih terbelah: antara mereka yang menyerukan keadilan, dan mereka yang memilih aman dalam ketidakpedulian.
Bukan Soal Agama, Ini Soal Kemanusiaan
Berpihak kepada Palestina bukan semata soal agama. Ini adalah tentang nilai dasar kemanusiaan. Tentang hak untuk hidup, bertahan, dan menentukan nasib sendiri. Tentang menolak sistem yang menindas dan membunuh dengan alasan “keamanan”.
Berpihak bukan berarti membenci. Ini bukan seruan kebencian, melainkan panggilan nurani. Ketika dunia bungkam terhadap ketidakadilan, maka keberpihakan adalah bentuk paling sederhana dari perlawanan. Ia adalah pernyataan bahwa kita masih manusia.
Diam adalah Pilihan—Dan Itu Pilihan yang Salah
Dalam sejarah, yang diam terhadap penjajahan dan kekejaman sama bersalahnya dengan pelakunya. Maka, kita tidak bisa menutup mata terhadap Palestina. Bukan hanya demi mereka yang telah gugur, tapi demi harga diri kemanusiaan kita sendiri.
Karena di antara reruntuhan, masih ada doa. Dan doa itu menunggu disambut oleh suara-suara yang berani berkata: Aku berpihak. Aku manusia.
Di Antara Reruntuhan, Masih Ada Doa
Di tanah yang digenggam angin dan debu,
bayi-bayi lahir di bawah suara dentuman,
sementara dunia menyetel ulang berita,
dan hati manusia—entah di mana.
Gaza bukan sekadar nama,
ia adalah rahim luka yang terus terbuka,
tempat malam lebih takut dari siang,
karena langit bisa jatuh kapan saja.
Ada anak menggambar rumah tanpa atap,
ada ibu yang bicara pada jenazah,
ada lelaki yang menyuap bayinya air asin,
lalu memandikan mayat saudaranya dengan air mata.
Apakah itu bukan genosida,
jika seluruh generasi dikubur hidup-hidup,
jika tanah direbut, dan sejarah dibakar,
jika nama mereka tak lagi diundang dalam doa dunia?
Kita tidak harus jadi pejuang,
cukup jadi manusia.
Yang berani berdiri meski sendiri,
yang tahu bahwa diam bisa lebih berdosa dari dusta.
Berpihak bukan berarti membenci,
tapi menolak membiarkan luka menjadi biasa.
Karena di ujung setiap reruntuhan,
masih ada doa yang mengepul ke langit—
menunggu satu keberanian kecil dari hati manusia.
0 Komentar