Subscribe Us

ksk logo.jpg

Teori Kuda Mati dan Kebijakan Amerika Serikat

Prof.Dr.Khusnul Yaqin, M.Sc.

Ada pepatah kuno dari penduduk asli Amerika yang menyatakan, "Jika Anda merasa sedang menunggangi kuda mati, strategi terbaik adalah turun dari kuda tersebut." Pepatah ini, yang kemudian dikenal sebagai teori kuda mati, menjadi metafora yang tajam sekaligus menggelitik untuk menggambarkan sebuah kenyataan pahit: sering kali kita terus menginvestasikan tenaga, waktu, bahkan harga diri, pada sesuatu yang telah terbukti gagal dan tidak lagi relevan.

Dalam dunia bisnis, teori ini kerap digunakan untuk menjelaskan kegagalan organisasi dalam mengenali momentum perubahan. Contoh klasiknya adalah Kodak—yang terlalu lama berpegang pada kejayaan masa lalu, hingga kehilangan peluang emas di era digital dan akhirnya bangkrut. Namun, teori ini tidak hanya berlaku dalam ranah korporasi. Ia juga sangat relevan dalam melihat dinamika geopolitik dan kebijakan luar negeri, termasuk yang dilakukan oleh Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah.

Keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Yaman, misalnya, dengan dukungan militer dan logistik terhadap koalisi pimpinan Saudi, telah berlangsung bertahun-tahun tanpa hasil nyata kecuali penderitaan rakyat sipil. Perang ini telah menelan ribuan nyawa, menghancurkan infrastruktur, dan menciptakan krisis kemanusiaan terbesar di dunia. Namun, alih-alih meninjau kembali kebijakan ini secara fundamental, Amerika terus menerus menyiram "kuda mati" ini dengan sumber daya, anggaran, dan dukungan diplomatik—seolah kemenangan hanya tinggal satu tikungan lagi.

Padahal, fakta-fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Kelompok Ansharullah, yang sering dianggap hanya sebagai gerakan lokal dengan keterbatasan sumber daya, justru menunjukkan ketahanan luar biasa, bahkan mulai memainkan peran geopolitik yang lebih besar, termasuk mengganggu jalur pelayaran Laut Merah sebagai pesan politik terhadap dominasi Barat dan dukungan Amerika terhadap Israel.

Jika Amerika benar-benar ingin memainkan peran konstruktif dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas global, sudah waktunya untuk turun dari kuda mati ini. Sudah saatnya Amerika mengalihkan fokusnya dari konflik luar negeri yang menguras sumber daya dan legitimasi moral, kepada pembenahan internal dan pemulihan ekonomi domestik. Bisnis senjata dengan menabur konflik adalah kuda yang telah lama mati. Amerika harus segera meninggalkannya, jika tidak ingin seperti Kodak. 

Namun, ada satu kuda mati yang lebih tua dan lebih beban daripada perang Yaman: yaitu dukungan tanpa syarat terhadap Israel.

Selama lebih dari tujuh dekade, kebijakan Amerika Serikat terhadap Israel dilandaskan pada kepentingan geopolitik, lobi politik dalam negeri, dan narasi ideologis yang semakin sulit dipertahankan di hadapan realitas. Dukungan militer, politik, dan ekonomi terhadap Israel justru telah menciptakan ketidakseimbangan yang akut di Timur Tengah, serta memperpanjang penderitaan rakyat Palestina. Setiap upaya resolusi damai terhambat oleh sikap bias dan ketertutupan terhadap solusi yang adil.

Dalam konteks ini, Israel bukan lagi aset strategis, tetapi menjadi liabilitas moral dan politik bagi Amerika di mata dunia internasional. Setiap bom yang dijatuhkan di Gaza, setiap pemukiman ilegal yang dibangun di Tepi Barat, dan setiap veto Amerika di Dewan Keamanan PBB adalah ilustrasi nyata dari teori kuda mati yang dipaksakan untuk terus berlari.

Sudah waktunya Amerika berpikir secara lebih radikal dan visioner. Salah satu pendekatan yang layak dipertimbangkan adalah repatriasi damai: pengembalian sekitar 80 persen populasi pendatang yang kini menghuni wilayah Palestina ke negara asal leluhur mereka, sebagai bagian dari penyelesaian adil dan berkelanjutan. Sisanya, 20 persen warga Yahudi yang telah terasimilasi secara historis di tanah Palestina dapat diajak duduk bersama rakyat Palestina—baik Muslim, Kristen, maupun Yahudi—dalam sebuah referendum yang jujur dan bebas, untuk membentuk negara masa depan yang inklusif dan berdaulat.

Apakah ini akan mudah? Tentu tidak. Tapi justru karena sulit, maka diperlukan keberanian politik yang melebihi kalkulasi pragmatis semata. Amerika harus membuktikan bahwa demokrasi yang selama ini dijual sebagai nilai universal, juga berlaku untuk rakyat Palestina. Dan bahwa kepemimpinan global tidak diukur dari seberapa banyak senjata yang dijual, tapi dari seberapa banyak konflik yang diselesaikan dengan keadilan.

Teori kuda mati mengajarkan kita satu hal mendasar: tidak ada kehormatan dalam mempertahankan strategi yang gagal. Justru kehormatan itu lahir dari keberanian untuk mengakui kekeliruan, lalu mengubah arah sebelum semuanya terlambat.

Dalam konteks kebijakan luar negerinya, Amerika Serikat kini dihadapkan pada pilihan yang menentukan: terus menunggangi kuda mati yang menuju jurang, atau turun, mengevaluasi ulang, dan menempuh jalan baru yang lebih bermartabat—demi masa depan dunia yang lebih adil dan manusiawi.

gambar : telegram//palestinapost

Posting Komentar

0 Komentar