Subscribe Us

ksk logo.jpg

Upaya Menghidupkan Kesadaran Semesta melalui Ekologi Transenden

Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.

Filsafat ilmu dalam paradigma modern seringkali diposisikan sebagai medan yang steril dari dimensi spiritual. Ia dijalankan dengan metodologi teknis, netral terhadap nilai, dan berorientasi pada penguasaan atas objek. Alam, dalam kerangka seperti ini, dijadikan sekadar bahan kajian, materi eksplorasi, dan sarana eksploitasi. 

Tidak heran bila ekologi modern, meskipun diklaim ilmiah, tetap gagal menyelamatkan bumi dari krisis lingkungan yang akut. Namun bila kita menoleh ke dalam khazanah filsafat Islam, terutama melalui lensa al-Hikmah al-Muta‘aliyah karya Mulla Sadra, kita akan menjumpai sebuah jalan yang berbeda: bahwa ilmu bukan sekadar akumulasi pengetahuan, melainkan sebuah perjalanan eksistensial; dan bahwa alam bukan objek pasif, melainkan manifestasi wujud yang hidup, penuh makna, dan memiliki kesadaran.

Mulla Sadra memulai revolusi epistemologisnya dengan membalik fondasi pengetahuan: bukan dari hakikat atau definisi (mahiyyah), melainkan dari wujud (al-wujūd). Dalam kerangka ini, segala sesuatu yang ada, ada karena ia berwujud, dan wujud itu sendiri adalah realitas yang bergradasi, bertingkat-tingkat dalam kedekatannya dengan sumber segala eksistensi—Tuhan. Pandangan ini membongkar dikotomi antara materi dan ruh, antara alam dan kesadaran. 

Dalam sistem tashkīk al-wujūd (gradasi wujud), setiap partikel alam semesta memiliki bagian dari eksistensi Ilahi, dan dengan demikian juga memiliki tingkat kesadaran. Bahkan batu, air, udara, dan mikroorganisme bukanlah entitas mati, tetapi bagian dari simfoni kosmik yang berdzikir dalam bahasa keberadaan mereka masing-masing.

Dalam terang inilah, ekologi tidak bisa lagi dipahami sebagai ilmu tentang lingkungan hidup semata. Ia harus dimaknai sebagai ilmu tentang relasi eksistensial antara manusia dan seluruh tingkat keberadaan lain. Ekologi bukan hanya biologi yang diperluas ke luar laboratorium, tetapi menjadi laku spiritual (spiritual journey) yang menyadarkan manusia tentang keterlibatannya yang intim dalam jaringan wujud semesta. 

Di sinilah letak dasar paling kokoh dari apa yang disebut sebagai “ekologi transenden”—sebuah ekologi yang tidak hanya merombak struktur ekologi antroposentrik, tetapi juga melibatkan transformasi batin, penyucian diri, dan pengenalan terhadap makna-makna eksistensial dari setiap makhluk.

Ekologi transenden berbeda dari sekadar biosentrisme, yang menempatkan kehidupan biologis sebagai pusat nilai, atau eksentrisitas radikal yang menggeser manusia dari pusat kosmos. Ia juga bukan sekadar ekologi transpersonal dalam pengertian psikologis, seperti dalam karya-karya Warwick Fox. Ekologi transenden menjadikan wujud sebagai poros, dan cinta sebagai energi yang menggerakkan kosmos. Dalam tradisi Mulla Sadra, cinta bukan sekadar emosi, tetapi bentuk keterarahan ontologis dari segala sesuatu kepada sumbernya. Maka keterlibatan manusia dalam menjaga, memahami, dan bersahabat dengan alam bukanlah perintah moral eksternal, tetapi tuntutan batin dari ruhnya sendiri yang mengingat asalnya.

Dengan demikian, ekologi transenden berakar pada pemahaman bahwa seluruh entitas di alam raya memiliki kesadaran sesuai tingkat wujudnya. Kesadaran ini tidak melulu berupa refleksi intelektual seperti manusia, tetapi bisa berupa gerakan alami yang penuh kepasrahan: air yang mengalir ke laut, pohon yang tumbuh ke cahaya, hewan yang mencari makan sesuai fitrahnya—semuanya adalah bentuk cinta eksistensial kepada Yang Mahatinggi. Maka ketika manusia merusak alam, ia bukan hanya melanggar etika, tetapi menghancurkan harmoni cinta yang mengikat eksistensi. Ia memberontak terhadap jaring makna yang menjadikannya manusia.

Pandangan ini memiliki implikasi besar terhadap cara kita memahami keberlanjutan. Sustainability dalam kacamata transenden bukan sekadar strategi untuk memperpanjang umur sumber daya, tetapi upaya menyelaraskan diri kembali dengan struktur wujud. Maka tindakan menebang pohon, menambang bumi, atau mencemari laut tidak cukup dinilai dari kerugian ekologisnya, tetapi harus dipahami sebagai pengkhianatan terhadap perjanjian ruhani antara manusia dan alam. Dalam Al-Qur’an, manusia dipanggil sebagai khalifah, bukan karena kecerdasannya, tetapi karena ia memikul amanat wujud—yang tidak sanggup ditanggung oleh langit, bumi, dan gunung (QS Al-Ahzab: 72). Amanat itu adalah kesadaran.

Di sinilah kita dapat membaca ulang konsep-konsep ekologi mutakhir dengan dasar filosofis yang lebih dalam. Biosentrisme, misalnya, sering dikritik karena gagal menjelaskan alasan normatif mengapa kehidupan harus dihormati. Dalam ekologi transenden, jawabannya jelas: karena setiap bentuk kehidupan adalah manifestasi wujud, dan oleh karena itu memiliki kesucian ontologis. Eksentrisitas yang mencoba merelatifkan posisi manusia juga menemukan konteksnya: bukan karena manusia tidak penting, tetapi karena ia hanyalah salah satu titik dalam spektrum wujud yang luas dan saling berhubungan. 

Dan ekologi transpersonal, yang menekankan kesatuan spiritual antara manusia dan alam, menemukan justifikasinya dalam prinsip ittihād al-‘āqil wa al-ma‘qūl—penyatuan subjek dan objek pengetahuan dalam horizon transenden.

Lebih jauh lagi, pandangan ini menjawab tantangan besar dalam sains lingkungan kontemporer: bagaimana menjelaskan bahwa alam semesta ini tampak teratur, cerdas, dan penuh keterarahan? Teori fisika kuantum modern, seperti Integrated Information Theory (IIT) dan pemikiran panpsikisme ala Philip Goff, mencoba menyatakan bahwa kesadaran bukanlah produk akhir otak manusia, tetapi sifat dasar dari segala sesuatu yang eksis. Alam semesta, dalam pandangan ini, bukanlah mesin buta, tetapi organisme yang hidup. Pandangan ini justru bersinggungan erat dengan filsafat Sadrian, yang sejak awal menyatakan bahwa wujud itu sendiri sadar, dan bahwa segala sesuatu memiliki bagian dari kesadaran Ilahi.

Dalam tafsir-tafsir spiritual Ahlul Bait, bahkan disebutkan bahwa alam ini bergerak karena cinta, dan cinta tidak mungkin ada tanpa kesadaran. Dalam hadis Kisa, misalnya, seluruh alam semesta disebut tunduk kepada keluarga Nabi karena cinta mereka kepada kebenaran. Maka keteraturan semesta ini bukan hasil determinisme buta, melainkan kesetiaan eksistensial terhadap Yang Maha Dicinta. Alam tidak sekadar diatur, tetapi ikut serta dalam harmoni pengetahuan dan kasih sayang. Bukankah langit dan bumi disebut “bersujud” kepada Allah? (QS Ar-Rahman: 6). Bukankah gunung-gunung “berdzikir” bersama Nabi Daud? (QS Shad: 18). Kesadaran semesta ini bukan metafora, tapi realitas ontologis dalam kerangka filsafat wujud.

Penerapan filsafat ini dalam praktik ilmiah dan kebijakan ekologis berarti bahwa kita harus merombak cara kita memandang ilmu dan teknologi. Laboratorium tidak boleh hanya menjadi tempat kuantifikasi, tetapi ruang tafakur. Kampus bukan sekadar pusat produksi pengetahuan, tetapi arena penyucian jiwa. Pendidikan ekologi tidak cukup dengan data dan grafik, tetapi harus menyentuh kalbu dan menyadarkan ruh. 

Masyarakat pun tidak hanya perlu dilatih memilah sampah, tetapi juga diajak mengenali kesakralan air, udara, tanah, dan hewan. Ketika kita meminum air, kita harus sadar bahwa air itu bukan benda mati, melainkan sahabat eksistensial yang membantu perjalanan ruh kita menuju Tuhan.

Maka krisis ekologi dewasa ini bukan hanya krisis teknis, tetapi krisis spiritual. Manusia modern lupa siapa dirinya, dari mana ia berasal, dan ke mana ia akan kembali. Ia menyangka bahwa ilmu dapat berkembang tanpa ruh, bahwa teknologi bisa maju tanpa etika. Namun setiap bencana ekologis—banjir, kebakaran, krisis pangan—adalah peringatan dari wujud, bahwa kita telah jauh menyimpang dari poros cinta. Kita harus kembali. Kita harus sadar.

Ekologi transenden adalah panggilan untuk kembali. Ia memadukan filsafat wujud, spiritualitas, dan ekologi dalam satu napas yang utuh. Ia bukan ideologi, tetapi jalan hidup. Dalam sistem ini, manusia bukan penguasa bumi, tapi penjaga rahasia wujud. Tugasnya bukan menguasai, tapi memahami. Bukan mengubah alam sesuai keinginannya, tetapi mengubah dirinya agar seirama dengan hikmah semesta.

Dan pada akhirnya, kesadaran akan keberadaan bukan tujuan akhir, tapi awal dari perjalanan kembali kepada Yang Maha Ada. Setiap daun yang gugur, setiap riak air yang mengalir, setiap napas yang kita hirup, semuanya adalah pesan dari semesta. Dan hanya jiwa yang bersih yang bisa membacanya.

gambar : https://mcdens13.wordpress.com/

Posting Komentar

0 Komentar